Dulu, kita sebenarnya sangat terbiasa dengan tradisi berpikir cerdas. Ini saya simpulkan dari proses eksplorasi bahasa yang diwariskan orang-orang masa silam. Di Sunda, misalnya, dikenal yang namanya seloka, juga paribasa, sebuah gaya komunikasi yang penuh dengan metafora. Dan ini bukan dalam tataran produksi kesenian saja, seperti orang-orang menciptakan syair, pantun, atau puisi, tapi benar-benar terjadi dalam realitas komunikasi sehari-hari.
Di keluarga saya, kakek, ibu dan ayah, sangat sering berkomunikasi secara lateral. Saya akrab dengan majas-majas bertingkat baik yang sederhana sejenis “Herang caina beunang laukna (jernih airnya dapet ikannya)”; “Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok (air yang menetes di batu, pelan tapi pasti bakal membuatnya cowak juga)”; atau yang lebih kompleks lagi menjadi sebuah wacana pemikiran.
Sebagai contoh, ketika saya memutuskan hendak kuliah di Jakarta, kakek saya menasihati saya untuk menjadi seperti air. Ia diserap akar-akar pepohonan. Mengalir jernih, dari hulu yang mungkin curam. Melewati sungai yang di beberapa titik tenang. Memasuki lautan. Sesekali diam. Kadang membentuk riak kecil, kadang menciptakan gelombang besar. Menguap menjadi awan, lalu menjelma hujan dan kembali lagi diserap akar-akar pepohonan.
Saya kadang kagum memandang cara kakek atau ayah saya mengeksplorasi hal yang sederhana dan mengaitkannya dalam konteks pemikiran tertentu. Tradisi seperti ini berlanjut hingga saya kuliah dan kemudian terhenti.
Saat ini saya lebih akrab dengan produksi bahasa pop sejenis “Sesuatu banget”, “Kasian deh lu”, “Nggak lah yaw”, “Ahsiaaap”, “Santuy”, dan sekarang jargon-jargon alay yang saya nggak ngerti apakah ini memasuki wilayah kemiskinan atau justru bagian dari kekayaan tradisi berpikir.
Ketika saya mulai tergila-gila dan menjadi pembelajar hipnosis, saya malah seperti teromantisir gaya komunikasi saya sewaktu kecil dulu. Betapa tidak, majas, seloka, analogi, paribasa, adalah salah satu alat hipnosis yang bebas kita eksplor dan ciptakan sendiri.
Nasihat kakek dan orang tua saya yang mereka sampaikan dengan caranya, benar-benar menohok dan membuat saya trance, hingga saya mengingatnya sampai detik ini.
Saya yakin mereka awam dengan teori hipnosis. Tapi sesungguhnya, mereka telah mengaplikasikan hypnotic language pattern untuk saya, seperti halnya seorang hipnotist sekaliber Milton Erickson terhadap clientnya.
Tradisi cerdas berikutnya, justru datang dari cara berpikir mantra, yang ironisnya orang-orang modern menganggapnya mistik, klenik, dan bodoh.
Saya pernah menganalisis beberapa mantra, dan ternyata, saya simpulkan sebagai sebuah sugesti cerdas yang penuh dengan metafora-metafora estetik. Mungkin beberapa kelompok gagal memahami kehebatannya karena memandangnya sebagai teks klenik semata, tanpa mendalami makna yang tersimpan di dalamnya.
Saya melihat mantra, sebagai sebuah self suggestion yang di dalamnya terkandung teknik komunikasi alam bawah sadar. Sebagai contoh, saya menganalisis teks mantra yang biasa dipakai di tradisi kanuragan Sunda. Teks itu bernama “Aji Brajamusti”. Saya tidak menyertakan teks ini dengan alasan etika. “Brajamusti” dalam versi ini dipercaya mampu menahan pukulan lawan sekeras apapun, dan mampu menghancurkan lawan hanya dengan satu pukulan.
Teks ini memiliki format ritmik dan repetitif dengan bunyi yang konsisten. Isinya memajaskan pukulan lawan yang ringan seperti kapuk dan kapas; sementara tubuh kita seperti batu. Analogi kekuatannya, seperti seribu batu di kepala; selaksa karang di badan.
Untuk orang tertentu mungkin teks ini bullshit. Namun secara teoretik, teks ini adalah self suggestion yang kaya dan mampu menjangkau level gelombang alpha hingga theta, sehingga ia mampu membangkitkan energi dahsyat.
Saya tidak tahu apakah pencipta teks ini mengerti struktur gelombang kesadaran manusia dan tahu cara menjangkaunya, atau secara kebetulan saja. Yang jelas, dari diksi yang dipilih, dari format yang sangat terlihat diperhitungkan, dan dari imageri yang konsisten, teks ini adalah sebuah konsep yang tidak bisa diremehkan.
Bila teknik hipnosis mampu membangkitkan fenomena hipnotik seperti time distortion, age regression, anestesi, halusinasi negatif atau positif, membuang rasa sakit, dan sebagainya, maka tidaklah heran kalau teks tadi pun bisa menghadirkan efek kekuatan dahsyatnya. Dan bagi saya, ini bukan efek magik atau klenik. Melainkan rahasia kekuatan manusia yang secara cerdas sengaja dibangkitkan dengan teknik majas, bunyi, repetisi, dan struktur bahasa seperti saya bahas tadi.
Fenomena di atas makin mengukuhkan pemahaman bahwa, bahasa bukan sekedar alat bertutur. Tapi konsep bertutur.
Bagi kakek, ketika menasihati saya, bahasa bukan sekedar alat bertutur untuk berkomunikasi dengan kesadaran saya. Baginya bahasa adalah konsep yang bisa menjangkau pikiran bawah sadar saya.
Begitu halnya dengan mantra. Mantra adalah konsep bahasa yang disusun untuk menjangkau gelombang bawah sadar manusia. Sehingga bukan masalah ketika pikiran sadar sulit mencernanya.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan produksi bahasa di masa sekarang?
Kita semakin produktif mengeksplorasinya, atau kita hanya bagian dari generasi pengguna saja?BaBahasa bukan sekadar alat bertutur, tapi konsep bertutur.