Secara budaya, saya produk yang tumbuh di era 80 dan 90-an. Hidup saya diisi dengan dongeng pasosore Mang Jaya di radio Linggarjati, Kuningan, kemudian Sandiwara Radio seperti Tutur Tinular dan Makuta Mayangkara karya S. Tidjab; atau Saur Sepuh karya Niki Kosasih.
Tokoh-tokoh Tutur Tinular kayak Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga, menjadi karakter yang menginspirasi saya dan membuat saya tergila-gila. Saya bisa kesal seharian, kalau saja suatu kali terlewat mendengar episode terbarunya. Saya juga suka gondok, kalau lagi seru-serunya, cerita habis begitu saja. Maklum durasinya hanya 30 menit.
Gara-gara Arya Dwipangga, si tokoh antagonis bergelar Pendekar Syair Berdarah Dingin, saya jadi menyukai puisi. Saya terpesona dengan cara ia merapal puisi ketika hendak bertarung. Aneh kan? Kesukaan saya akan puisi bukan dipicu penyair-penyair besar, tapi malah oleh tokoh fiktif. Antagonis lagi, haha ….
Namun dari situlah saya kemudian jadi penyuka sastra dan mengenal penyair-penyair besar Indonesia. Sapardi Djoko Damono, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Goenawan Mohammad, dll. Tak cuma tahu, tapi sebagian dari mereka kemudian menjadi guru saya. Bersyukur karena itu berkah besar bagi saya.
Rupanya, energi itu memang saling kait mengait ya, dan disadari atau tidak, menyebabkan orang-orang di dalamnya saling terhubung.
Sewaktu saya kuliah, siapa sangka kemudian saya malah bertemu dan bersahabat dengan anaknya S. Tidjab, pencipta tokoh Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga tadi. Darinya, saya bisa mendengar sandiwara tak hanya dengan durasi terbatas 30 menit saja, tapi kalo perlu, berkaset-kaset cerita bisa saya dengar sekaligus.
Tentu saya tidak melakukannya. Saya sadar, romantika mendengar sandiwara tak cuma karena ceritanya, tapi justru juga karena kepenasaranannya.
Tak terpikirkan juga kemudian saya bertemu tokoh-tokoh besar dunia sastra dan bahasa. Apalagi mereka bakal menjadi guru langsung saya. Selain Pak Sapardi Djoko Damono dan Rendra tadi, juga ada Pak H.B. Jassin, Pak Anton Moeliono, Pak Harimurti Kridalaksana, Pak Gorys Keraf, Ibu Felicia N. Utorodewo, Ibu Achadiati Ikram, Ibu Riris K. Toha Sarumpaet, Ibu Josepine Mantik, dan banyak lagi legenda-legenda sastra dan bahasa, termasuk guru-guru muda saya lainnya.
Tak terbayangkan juga, seorang legenda seperti W.S. Rendra, bahkan pernah pukul 1 malam datang ke kosan saya di Kukusan, sekadar untuk mengantar anaknya, yang kebetulan adik angkatan saya di kampus. Anak sang maestro itu maksa mau nginep di kosan saya yang hanya 1 petak kamar kecil itu.
Kelucuan berikutnya, saat saya masuk dunia kerja (advertising), saya dipertemukan dengan para pemeran Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Brama Kumbara, Raden Bentar, Mantili, dan karakter-karakter sandiwara radio lainnya. Mereka kemudian jadi partner dan teman saya yang sering bekerja bareng dalam berbagai projek campaign. Seperti brur Petrus Urspon (pemeran Raden Bentar dan Arya Kamandanu), M. Abud, Hari Akik, Fery Fadli (Brama Kumbara), Ipone Rose, Ely Ermawati, dan legenda voice talent lainnya, termasuk narator bersuara berat, Asdi Suhastra.
Begitulah. Saya merasa, kultur 80-an membuat saya tersesat. Tersesat dalam pengalaman yang penuh keajaiban.
Orang bijak bilang, kita berlayar dalam gelombang partikel energi. Ke mana arah kita mengalir adalah sebuah pilihan. Apakah kita dayung sesuai yang kita inginkan, atau kita nikmati dengan lepas bebas ke mana pun, seperti menikmati ketersesatan dalam bertualang.
Saya jadi teringat puisi Pak Sapardi Djoko Damono, yang berjudul “Empat Kwatrin untuk Pepeng”. Begini bunyinya:
Hidup kita ini, kata Pak Kiai
Adalah sekeping uang logam
Satu keping tapi dua sisi
Selalu serasi, tak salah paham
Nasib kita ini, kata Pendeta
Susul-menyusul siang dan malam
Dua-duanya disaput rahasia
Kadang terbuka, kadang terpendam
Takdir kita ini, kata Pak Guru
Memang tak mudah dipantau
Kadang pasti seperti dipaku
Kadang bagai angin mendesau
Ingat selalu perangai air, kata Penyair
Meskipun begini, tetap saja begitu
Dari hulu mengalir ke hilir
Berkelok terjun, menuju Yang Satu
***