Sebuah artikel yang ditulis oleh Langit7, dan memuat pendapat Asep Herna, seputar kontroversi campaign Holywings.
LANGIT7.ID, Jakarta – Konsultan Bisnis dan Pemasaran, Yuswohady, menilai ada pelajaran berharga bagi pengusaha yang bisa dipetik dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan holywings dalam promosinya.
Holywings membuat kegaduhan karena menayangkan sebuah iklan di instagramnya yang memicu kemarahan masyarakat. Iklan itu berkonotasi melecehkan nama Muhammad dan Maria, yang merupakan simbol suci agama di Indonesia.
Dari perspektif marketing, Yuswohady menilai ada pelajaran penting yang bisa diambil dari kasus Holywings, di antaranya:
1. Jangan Pernah Bermain Api
Pelajaran terbesar dari kasus ini adalah brand tidak diperbolehkan bermain api dan berakrobat dengan isu SARA dalam mengolah konten promosi.
“Kenapa? karena isu SARA sangat sensitif dan bisa berdampak disruptif dan destruktif ke brand,” kata Yuswohady dikutip di akun instagram-nya, Senin (27/6/2022).
Pada era horizontal saat ini setiap orang kini memiliki media. Setiap marketer harus jungkir balik berkreasi agar konten-konten promosi bisa nendang dan mencuri perhatian audiens.
Tak heran jika marketer bereksperimen membuat sensasi dan kontroversi untuk viralitas. Berkreasi tanpa batas boleh, asal tidak sampai berlebihan dengan menyerempet ke isu SARA.
“Brand yang di-bully netizen karena isu SARA. Lukanya begitu dalam dan sulit disembuhkan, bahkan bisa cacat permanen. Yaitu cacat reputasi dan cacat kredibilitas,” kata Yuswohady.
2. Sistem dan Panduan Bersosmed pada Era Horizontal
Menjangkau audiens yang luas kini begitu mudah, semudah mengunggah konten di instagram atau facebook.
Kemudahan itu justru mendatangkan masalah baru. Kerap tim marketing kecolongan mempublikasikan material promosi ke publik tanpa melalui verifikasi dan rentetan proses approval yang semestinya.
“Karena itu setiap organisasi marketing harus memiliki ‘pagar-pagar’ yaitu sistem dan panduan kerja (social media guidelines), di mana setiap materi promosi yang keluar ke publik harus sudah terverifikasi secara ketat dan disiplin,” ucap Yuswohady.
3. Ingat, Brand itu Rapuh
Kasus Holywings sekali menyadarkan bahwa betapa merk (brand) adalah entitas yang sangat rapuh. Membangun brand butuh waktu panjang bertahun-tahun. Namun, saat ada kejadian fatal, brand itu seperti gelas kaca yang jatuh dan hancur berkeping-keping.
“Membangun brand memang sulit, namun menjaga, mempertahankan, dan melestarikan brand itu jauh lebih sulit,” ucap Yuswohady.
Sementara, Praktisi Iklan Kreatif, Asep Herna, menilai tim marketing holywings sudah menabrak hal yang sangat fatal. Tentu hal itu harus menjadi perhatian setiap marketer.
4. Iklan Holywings Eksploitasi Simbol Sakral dengan Tendensius
Secara psikologis, tidak mungkin iklan tersebut hanya sekadar kebetulan saja. Jika hanya 1 nama saja, tim marketing masih bisa berlindung di balik kata ‘tidak sengaja’.
Tapi, ada dua simbol agama yang identik dengan nama suci dalam agama tersebut. Itu bisa dipastikan promosi yang disengaja. Tujuan menggunakan nama itu harus didalami.
Tapi, kata Asep, secara tekstual, penggunaan nama Muhammad dan Maria bisa ditafsirkan sebagai cara menciptakan words of mouth atas brand holywings.
“Mereka sudah pasti menduga akan terjadi kontroversi, tanpa memprediksi bahwa kontroversi ini bakal kebablasan dan berimplikasi hukum. Bahkan, memicu histeria kemarahan secara massif,” kata Asep di laman Catatan Kaki, dikutip Senin (27/6/2022).
5. Jangan Tabrak Etika dan Regulasi Periklanan
Produk tertentu seperti minuman beralkohol, kondom, dan rokok memiliki restriksi tersendiri yang sangat ketat. Apalagi minuman beralkohol.
Dalam tata krama periklanan yang disusun Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), minuman beralkohol dilarang untuk diiklankan di kanal media massa. Jadi, hanya terbatas di media nirmassa.
“Apalagi sifat iklannya promosi. Mengarah ke tindakan konsumsi, bukan sekadar menancapkan awareness,” kata Asep.
Bahkan, pemerintah mengeluarkan aturan yang lebih ketat. Minuman keras Golongan C (dengan kadar alkohol 20% sampai 50%) dilarang diiklankan. Itu tertuang dalam Permenkes No.386 tahun 1994.
(Jkf)