“Aku tak ingin mengganggumu, Gomar. Aku hanya membawamu berita di penghujung waktu yang mungkin tak akan pernah aku miliki lagi. Bukankah ini yang kauinginkan?”

Perempuan cantik itu mengulurkan tangan kanannya. Tangan yang berlumuran darah. Tangan yang tiba-tiba asing dan tak dikenalnya. Sementara tangan kirinya menenteng tote bag. Di dalamnya ada plastik hitam, menggelembung sesak entah berisi apa.

Gomar kaget dan mundur selangkah.

“Tugasku sudah selesai, Gomar. Kau boleh terus menuliskan kisahku, atau menjadikan ini sebagai episode terakhir liputanmu.”

**

“Maukah kau ikut denganku, Yanti? Aku bisa mencarikanmu pekerjaan di Jakarta. Apa saja. Ketimbang kau lelap terus dalam kesedihanmu seperti ini.”

“Kau mau mencarikanku pekerjaan, Kak?”

“Aku janji.”

Bagi Yanti, Daos adalah harapan satu-satunya. Sejak ayah Yanti rutin cuci darah, sampai kemudian meninggal 3 hari lalu, Daos yang menanggung seluruh biayanya. Daos bahkan rela meninggalkan pekerjaannya bolak-balik Jakarta-Subang hanya untuk membantu mengurus ayahnya.

Sewaktu masih di kampung, Daos dikenal sebagai berandal. Dulu dia pemabuk dan tukang berkelahi. Namun di sisi lain, Yanti mengenal Daos sebagai orang yang baik. Daos tidak segan berbagi rezeki pada siapapun teman yang membutuhkannya.

Beranjak dewasa, Daos pergi ke Jakarta. Entah mengapa, kehidupannya menjadi berubah. Ia lebih kalem dan menjelma orang yang lebih dari berkecukupan. Sifat baiknya pun semakin kentara. Tak jarang, orang-orang di kampung, lak-laki ataupun perempuan, Daos ajak bekerja di Jakarta. Dan kehidupan mereka pun makmur. Masriah di dusun Nangka, bisa mengubah rumah panggungnya jadi rumah gedongan. Rini di Cisoang, termasuk  Laila, teman Yanti di Cikoneng, bahkan selain memiliki rumah bagus, juga sudah membeli banyak tanah untuk ayah ibunya bertani, bukan cuma sebagai penggarap. Tak hanya perempuan, teman laki-laki yang ikut Daos pun hidup berkecukupan. Lumay, Herman, Jarot, adalah sebagian dari pemuda-pemuda pengangguran yang hidupnya kemudian berubah menjadi jauh lebih baik setelah bekerja dengan Daos.

Hal ini yang membuat Yanti bulat memutuskan diri untuk ikut Daos. Apalagi, saat ini, di rumah ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibunya sudah lama meninggal. Ia punya bibi dan uwa, tapi mereka juga orang-orang yang bahkan untuk menghidupi dirinya saja serba kesulitan.

**

“Kau orang paling aneh sedunia, Gomar,” kata perempuan itu.

“Orang membayarku mahal untuk bercinta. Sementara kau? Menyia-nyiakanku cuma untuk berkata-kata.”

Ia tertawa. Tangannya mengambil remote TV, lalu menyalakan dan memilih-milih chanel sembarang. Sebentar kemudian terdengar hits Air Supply yang berjudul  “Good Bye”, sepertinya dari chanel MTV.

Ia menengokkan wajahnya ke dinding kaca. Lalu mematut-matut rambutnya.  Ya, hampir tiga perempat kamar ini berdinding kaca. Mungkin kamar ini memang sengaja didisain agar tamu bisa bebas melihat apapun adegan yang dilakukannya di sekeliling kaca.

Perempuan ini memilin-milin ujung rambutnya, yang bergelombang disapu cahaya temaram ruangan. Panjangnya sebahu. Tiap lembarnya adalah karya yang sempurna. Sepertinya sulit  bagi huruf-huruf untuk bisa menggambarkan pesonanya secara presisi. 

“Aku memang hidup dari kata-kata, bukan dari bercinta,” maksud Gomar ingin mencairkan suasana.

“Hmmm … aku tahu kau bercanda. Tapi seperti laki-laki lain, kau pinter sekali bikin perempuan terluka.” Mata bening perempuan itu menghunjam telak di bola mata Gomar. Gomar menyesal, mengapa kata-kata bodoh itu terucap dari mulutnya.

Nama perempuan itu Laruna. Usianya 23 tahun jalan. Gomar mengenalnya sudah lebih dari sebulan ini, ketika ia sedang menyusun liputan investigasi tentang praktik prostitusi di sepanjang jalur Puncak, dari Bogor, Cipanas hingga Cianjur. Gomar merasa penasaran, apa yang terjadi di wilayah itu, sampai bahkan bisa terkenal ke seluruh dunia terutama Eropa dan Timur Tengah, sebagai “Surga Dunia”. Bukan surga oleh karena keindahan alamnya, tapi surga oleh sebab destinasi wisata lendirnya. Sebagai wartawan, Gomar merasa bukan hanya terpanggil rasa kemanusiaannya, tapi juga terinjak harga dirinya.

Dari sekian banyak perempuan yang menjadi narasumber Gomar, Laruna adalah sosok yang paling menarik perhatiannya. Bukan sekadar kecantikannya, tapi juga cara bertuturnya. Cara berpikirnya. Dan kemistrinya. Gomar merasakan ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan apa.

“Apa yang kau sukai dari profesi seperti ini, Laruna?”

“Suka? Aku sering mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari para wartawan di TV. Semacam apa perasaan keluarga korban teroris atas tewasnya sang suami dengan tubuh berceceran karena ledakan bom. Apa perasaan seorang ibu yang anaknya jadi salah satu korban pesawat yang  jatuh dan tenggelam tak diketemukan.”

Gomar selalu saja terhunjam. Diam-diam ia takjub dan semakin penasaran, semestinya perempuan ini tidak berada di lokasi ini. Tapi di sisi lain, dari setiap jawabannya, ia melihat ada luka dan kemarahan.

“Aku memahami.”

“Aku tidak tahu seperti apa kau paham. Yang jelas sejak pertama aku ada di lingkaran ini, aku ingin pergi. Atau mati.”

Gomar seringkali ingin menghentikan wawancara, saat ia melihat Laruna mulai mengeluarkan air mata. Ia merasa pertanyaan-pertanyaannya malah memperdalam lukanya. Tapi, ia harus menyelesaikan tugasnya.

“Kau bayangkan, bagaimana perasaanku saat setiap malam dua atau tiga kali aku melayani bermacam laki-laki. Dari yang muda sampai kakek-kakek tua. Dari yang sopan, pendiam,  hingga yang kasar dan menganggapku binatang. Dari yang harum sampai yang baunya bikin aku 3 hari tak bisa makan.”

“Kenapa tak coba berhenti?”

“Caranya?”

Gomar diam. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya. Ia lupa, Laruna pernah bercerita, bahwa ia seperti masuk dalam lingkaran yang sulit sekali keluar darinya. Ia terjebak pada rantai yang ia tidak tahu sampai kapan putusnya. Bukannya ia tidak akan berhenti, ia meyakini suatu saat pasti berhenti, ketika di rantai ini ia tak dibutuhkan lagi.

**

Tiga minggu sudah Yanti tinggal di rumah Daos. Yanti belum juga bekerja. Kata Daos masih sedang diusahakan lowongan. Namun yang unik, hampir setiap hari Daos pulang pagi, sekitar pukul tigaan. Yang suka bikin kuatir, kerap Daos pulang seperti orang linglung. Mungkin pengaruh alkohol, pikir Yanti. Yanti maklum, karena  sejak di kampung dulu memang Daos pemabuk.

“Yantiiii … Yantiiii ….”

Saat Yanti terlelap, tiba-tiba seperti ada suara dalam mimpinya, memanggil namanya. Sejenak Yanti mengamati, suara itu makin jelas berulang-ulang. Yanti terbangun, dan ia lihat jam menunjukkan pukul 3 lewat 12 pagi.

Ternyata itu suara Daos sambil menggedor-gedor pintu. Yanti pun segera beranjak dari kamarnya, lalu membuka pintu.

“Maaf Yanti, aku tidak membawa kunci,” kata Daos sambil berjalan gontai, limbung dan jatuh. Yanti segera menangkapnya. Tapi karena berat tubuh Daos lebih besar, Yanti malah ikut terjerembab jatuh.

Sesaat mereka bertindihan. Mata mereka bertatapan.

“Yanti, kau ternyata seperti bidadari,” kata Daos meracau.

“Kau mabuk, Kak Daos. Ayo bangun, istirahat dan tidur.”

“Tidak, Yanti, aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu.”

Tangan Daos walau lemah mencoba menarik kaos Yanti. Yanti berusaha menahan. Tapi melihat mimik Daos, Yanti muncul rasa iba. Wajahnya pucat. Matanya merah. Tubuhnya seperti lemah. Lalu muncul saat-saat ketika perjuangan Daos menyelamatkan nyawa ayahnya, melindunginya, dan semua kebaikan-kebaikan Daos hadir seketika. Lebih dari itu, Yanti juga sudah lama mengagumi Daos. Hanya, Yanti tak pernah kuasa bahkan sekadar untuk menyimpan perasaan itu.

Akhirnya, Yanti diam seperti bulan yang tak beranjak di langit atas rumah Daos, beberapa menit lamanya. Angin pun seperti sirna. Bahkan embus AC senyap. Yang ada hanya deru napas Daos dan Yanti menyatu membentuk irama penuh magma.

**

Liku rantai Laruna, rupanya tak seindah liku jalan yang memanjang dari Ciawi hingga Cianjur. Pesonanya, yang kalau dilihat dari pucuk-pucuk bukit begitu ajaib, berbanding terbalik dengan luka menganga di hati Laruna dan teman-teman seprofesinya.

Kalau kau coba ingin tahu tentangnya, cobalah kau masuk ke beberapa gang di sepanjang jalur itu. Di sebuah tempat, kau akan mendapati gang bernama Gang S, yang sudah sangat terkenal sejak tahun 1990-an. Kau tentu akan melewati beberapa penjaga bertubuh tegap dan berwajah garang, untuk memastikan bahwa kau adalah tamu yang baik-baik saja.

Tak hanya di situ, kau akan mendapati gang-gang lain yang berserakan lengkap dengan kamar-kamarnya. Atau, kau bisa masuk ke sebuah area bernama Kampung A. Konon, ini adalah surga bagi orang-orang Timur Tengah, dan brosurnya banyak bertebaran di negara-negara mereka.

Wilayah ini juga pernah sangat mempermalukan Indonesia karena liputan media Perancis sempat viral di berbagai negara, dan menyebut bahwa di sini adalah surganya wisata seks “halal”. Ini istilah ironis atas fakta bahwa kerap praktik prostitusi ini dimanipulasi dengan kedok kawin kontrak biar halal. Dan ini pun sudah pernah diungkap Laruna pada Gomar.

“Tarifku Rp 800 ribu untuk paket shortime. Tiga jam. Atau, kalau kau pilih Paket Kawin Kontrak, kau harus mengeluarkan Rp 10 juta untuk 1 minggu.”

“Kawin kontrak?”

“Ya, untuk orang-orang yang nggak merasa aman jajan sembarangan,” tegasnya.

Gomar merasa, istilah ini semakin membuat permainan jaringan mafia di wilayah ini semakin absurd. Ia mendapati data dari Laruna, dalam proses kawin kontrak ini betul-betul melibatkan oknum aparat sebagai saksi, serta oknum ustadz entah abal-abal atau betulan sebagai yang bertanggung jawab memandu proses kawin ini.

Gomar semakin merasa aneh, saat ternyata berita ini pernah viral di luar negeri dan pemerintah daerah malah seakan tuli. Apakah pemerintah daerah setempat tak pernah tahu dan terpapar berita ini?

Malam semakin larut. Masih ada banyak pertanyaan yang ingin Gomar tanyakan untuk Laruna. Selain juga, jujur, ia merasa makin nyaman ngobrol berdua dengannya. Tapi, waktu sudah surut. Dan untuk menghilangkan kecurigaan dari pengelola, Gomar memang hanya menjatahkan durasi wawancaranya 3 jam saja.

Gomar pun pamit pada Laruna. Dengan hati berat, ia belah liku-liku jalur Puncak ini dengan mobilnya. Ia tak memutuskan untuk pulang ke rumahnya, tapi ia langsung menuju kantornya. Gomar tak sabar untuk segera menuliskan kisah Laruna di episode berikutnya.

**

“Yanti, malam ini aku ajak kau menemui bosku ya, kau sudah bisa mulai bekerja.”

“Kok, malam?”

“Nggak apa-apa. Bosku kebetulan ada projek lumayan besar. Dan kau bisa mulai terlibat.”

“Baiklah, Kak.”

Daos dan Yanti pun berangkat menuju suatu tempat. Di mobil, mereka tidak saling bersapa. Yanti asyik dengan dialog dalam dirinya. Begitu juga Daos.

Mobil menembus padat jalanan Jakarta. Sempat terjebak total di area sekitar Monas, lalu beranjak maju ke arah Mangga Besar. Di sekitar area Hotel Mercure, mobil berputar, lalu belok ke kiri menyelusuri jalan kecil, dan sampailah di sebuah gedung yang di depannya ada banyak mobil parkir.

“Mam, kenalkan ini Yanti,” kata Daos.

“Hai Cantik, apa kabar?”

“Baik, Bu.”

“Husss… jangan panggil Ibu.Panggil aku Mami ya, Cantik.”

Percakapan aneh, pikir Yanti. Begitu juga suasananya. Sangat hingar bingar, dan setiap kali bicara harus sedikit lebih berteriak.

“Yanti, kau bakal jadi bintang di sini. Dan namamu sekarang, Laruna. Bunga paling cantik anak Mami.”

Dalam kebingungannya, mata Yanti menyapu sekeliling mencari Daos. Daos sudah menghilang, entah ke mana. Lalu Yanti mulai curiga. Lalu Yanti mulai mengira-ngira. Lalu Yanti mulai berimajinasi liar jangan-jangan Daos menjebak ia masuk ke dunia yang seperti sering ia baca di novel-novel, atau di film-film. Dan ternyata, iya, betul!

Si Mami tadi sudah memberi Daos uang untuk Yanti Rp 75 juta. Yanti boleh saja pergi asal mengembalikan dulu uang itu. Namun bagaimana cara Yanti mengembalikan uang tersebut?

Yanti kaget luar biasa. Ia jelas tak berdaya  kecuali menerima apapun yang diperintahkan si Mami. Termasuk mulai malam itu iya membuang jauh nama Yanti, dan menggantinya dengan nama Laruna.

Sejak malam itu, ia tak lagi memiliki dirinya. Ia hanya memiliki rasa sesal serta marah yang makin hari makin luar biasa.

**

“Kalau kau sudah keluar dari tempat ini, apa yang ingin kaulakukan?” Gomar bertanya, suatu ketika.

“Aku hanya ingin membayar utangku pada Daos,” ucap Laruna.

Seberapa besar utangmu, barangkali aku bisa membantu?

“Kau tak akan sanggup membayarnya. Paling tidak, kau tak akan berani membayarkannya.”

“Kenapa? Aku punya tabungan sudah lumayan besar, dan aku tak punya beban apapun kalau aku kehilangan tabungan itu.”

“Kau tak punya cukup alasan untuk membayar utang-utangku pada Daos. Dan masa depanmu terlalu baik untuk dipertaruhkan.”

Gomar semakin tak paham apa yang diucapkan Laruna.

**

“Laruna, Mayang, Silvy, Bunga, cepat kamu menyelinap lewat sini! Ikuti Mami!”

Suasana sangat rusuh. Terdengar sirine dan bentakan dari toa  bersahut-sahutan. Para tamu berlarian. Kursi-kursi beterbangan.

“Tempat laknat ini akan kami segel! Tidak layak kota kami dikotori oleh kalian yang ada di sini! Kalau kalian semua tidak bubar sekarang juga, tempat ini kami bakar!” Laruna masih sempat melihat, seorang laki-laki dengan baju putih, hidung mancung, rambut pirang, naik ke atas meja. Di bawahnya, orang-orang dengan wajah beringas berteriak-teriak menggemakan nama Tuhan sambil menghancurkan semua apapun yang bisa dijangkaunya. Mereka membawa balok, parang, besi dan semua peralatan tajam dan tumpul lainnya.

Laruna dan teman-temannya, dipandu Mami dan para pengawal mereka, menyelinap dan masuk ke sebuah mobil elf yang sudah menunggu. Mobil pun melaju begitu mereka sudah ada di dalamnya.

Mobil keluar dari Jakarta, memasuki tol Jagorawi, dan ngebut membelah malam lalu keluar lagi di pintu Ciawi. Di atas jalan mobil terlihat sempat merayap ke wilayah Puncak, sampai kemudian berbelok ke arah kanan, memasuki gang kecil, dan menuju bangunan yang mirip sekali dengan bangunan seperti yang selama ini ia anggap sebagai markas tempat bekerja di Jakarta.

Dug!!!! Hati Laruna tiba-tiba terkejut, saat matanya melihat sosok laki-laki yang ada dekat bar gedung itu.

“Kak Daos!”

“Yanti …!”

“Jangan panggil aku Yanti, Kak. Yanti sudah mati. Aku Laruna!”

“Aku mendengar kerusuhan di lokasi Jakarta. Beruntung kau selamat.”

“Mengapa Kak Daos tega sekali meninggalkan dan menjual aku ke Mami?”

“Aku tidak meninggalkanmu Yan … eh … Laruna. Aku selalu memantau dan menjagamu.”

“Aku ingin keluar, Kak Daos. Aku nggak kuat bekerja seperti ini.”

“Dunia ini keras, Laruna. Kalau kau tidak kuat, kamu tergerus.”

“Aku lebih baik hancur tergerus kerasnya bumi ketimbang begini, Kak.”

“Sudahlah Laruna. Malam ini kau tidur di rumahku ya. Kamu istirahat dulu agar bisa berpikir jernih.”

Daos membawa Laruna ke rumah tinggalnya di area Puncak. Daos juga meminta izin Mami untuk beberapa waktu mengistirahatkan Laruna. Dan seperti biasa, dengan kelembutannya, Daos berhasil meredam Laruna.

Bukan sekadar karena kelembutan Daos, tapi memang, sejak dulu, memandang mata Daos, Laruna tak pernah memiliki daya.

Satu minggu sudah Laruna istirahat di rumah Daos. Satu minggu pula Laruna mulai kembali menyukai Daos. Dalam waktu satu minggu, Daos memanjakan Laruna, memijiti Laruna, menghangatkan Laruna, dan membuat Laruna seakan orang yang sangat diinginkannya.

“Laruna, apakah kau bersedia untuk menikah?”

Daos tiba-tiba berbisik pelan, sambil tangannya membelai rambut Laruna. Laruna kaget setengah mati. Tapi hatinya mekar bagai bunga-bunga.

“Menikah? Sungguh?”

“Iya. Kata-katamu selalu terngiang di telingaku, bahwa kau sudah tidak kuat lagi menjalani pekerjaan seperti kemarin-kemarin ini.”

“Aku mau… Kak,” Laruna manja, dan mencium Daos berkali-kali.

“Besok, kita ketemu Mami ya.”

“Kok mesti ketemu Mami?”

“Ada orang dari Arab, dia menyukai Puncak dan ingin menikmatinya. Tapi dia takut dosa seandainya harus booking perempuan dari Mami. Maka kita tawarkan Paket Kawin Kontrak, Laruna. Kau menikah untuk sekian lama dengan dia, dan kau akan mendapat bayaran sangat mahal darinya.”

Daos mengatakannya begitu dingin. Lugas. Datar. Tanpa emosi sedikit pun.

“Kak?”

“Ini solusi terbaik, Laruna. Kau mendapatkan uang lebih banyak, dan kau lebih aman. Statusmu isteri, bukan perempuan bookingan.”

“Biadab kau, Daos!”

“Laruna, aku bosan bersabar dengan kau. Kau pikir utang-utangmu hanya puluhan juta? Berapa ratus juta aku sudah keluarkan untuk membiayai rumah sakit bapakmu dan biaya hidup keluargamu, Laruna! Kau pikir itu gratis?”

Laruna tak bisa lagi bilang apa-apa. Ia sangat terluka. Ia sangat … entah ini namanya luka atau puncak amarah dalam kemasan tak berdaya. Yang jelas, Laruna kemudian menjadi isteri dari seorang Arab selama 1 minggu, lalu diperpanjang lagi 1 minggu. Lalu jadi isteri orang Arab lainnya. Lalu menjalani sebagai perempuan bookingan seperti semula, dan menjadi isteri dari laki-laki Timur Tengah lainnya. Begitu silih berganti, sampai kemudian ia bertemu Gomar, seorang wartawan yang sedang muak dengan apa yang kerap jadi berita di area Puncak.

**

Pukul 7 malam. Puncak diguyur hujan. Entah kenapa, jalanan sangat lengang. Di sebuah taksi yang melaju kencang, seorang perempuan cantik berwajah sayu dan dingin, membilangi titik-titik hujan yang jatuh di kaca jendela mobil. Perempuan itu membawa tote bag besar berwarna hitam.

Taksi itu belok ke arah kiri jalan, lalu masuk ke gang, dan berhenti di sebuah rumah. Perempuan itu berjalan pelan. Ia biarkan hujan mengguyurnya. Si perempuan itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik tote bagnya. Cutter. Ya, pisau cutter.

Di depan pintu yang sangat ia kenal, tangan perempuan itu menekan bel. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka pelan. Dan terlihat dari sinar lampu yang terang, wajah seorang laki-laki muncul berkaos hitam. Rambutnya ikal. Kulitnya putih. Dagunya lancip. Dan lehernya, ya, lehernya, lehernya, begitu empuk dan jelas di bagian mana tempat paling tepat untuk cutter itu mendarat serta membuat luka sayat.

Sretttttttttt!

Perempuan itu secepat kilat mengibaskan tangan yang memegang cutter. Sepersekian detik kemudian, darah yang warnanya jelas begitu merah dan segar, memancar. Suasana tak hening. Gemuruh hujan meredam  suara ngorok si lelaki itu, yang tengah berada dalam ritual menegangkan bernama kematian.

Lelaki itu Daos. Dan perempuan itu Laruna.

Laruna menyeret tubuh Daos ke dalam, lalu mengeluarkan golok kecil dari tote bagnya. Dengan santai, ia potong kepala orang yang sebelumnya ia pikir sebagai kekasihnya itu. Ia tenteng ke dapur, lalu ia cari kantung plastik hitam, yang ia sangat tahu di mana biasa Daos menaruhnya. Maka dibungkusnya kepala Daos dengan kantong plastik, lalu dimasukkan ke tote bag hitam yang ia bawa.

Laruna berjalan meninggalkan rumah itu. Ia ingin menemui Gomar. Tangannya menenteng cinta. Tubuhnya ditelan malam dan amarah yang tak teredamkan.

“Tugasku sudah selesai, Gomar. Kau boleh terus menuliskan kisahku, atau menjadikan ini sebagai episode terakhir liputanmu.”

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *