Saat ini, saya sedang berada di tengah himpitan penumpang KRL, dari Jakarta Kota menuju Bogor. Saya habis mempresentasikan credential saya, sekaligus first thoughts saya tentang campaign sebuah brand sigaret dari Cina. Kantornya berada di Beach View, PIK, kawasan yang bagi saya, main ke area sini layaknya liburan saja.

Meeting di PIK ini, saya sangat antusias, tentunya. Pemandangannya selalu saja eksotis, laut, di tengah kepungan gedung-gedung yang megah dan menjulang. Itu sebabnya, sejak pagi buta, saya sudah mempersiapkan diri dengan baik. Mandi, solat, memeriksa materi presentasi, lalu memanaskan mobil. Semuanya lancar.

Namun, begitu saya siap meng-over perseneling, tiba-tiba kok pedal kopling seperti lengket dan ngeplos. Alhasil, gigi perseneling tidak bisa bergerak. Rencana saya pun terhambat.

Terpaksa, untuk mengejar waktu, saya pesan taxi online, dan mesti mengeluarkan extra cost untuk tiba di lokasi presentasi dengan tepat waktu.

Untung, meeting berjalan dengan baik. Credential saya disambut cukup antusias oleh team juga country manager-nya, yang langsung datang dari Cina. Begitu juga terhadap sekilas pemikiran saya tentang campaign brand mereka, sambutannya cukup bikin bahagia. “Very interesting,” katanya.

Nothing to Lose

Saya hanya menawarkan 1 pendekatan ke mereka. Guerilla Tactic dengan Shocking dan Controversial Campaign, sebagai cara untuk menggerogoti keberadaan prime competitor mereka yang saat ini sudah jadi top of mind brand di kategorinya (lucunya, saya juga turut membuat big picture strategi brand kompetitor mereka ini lho, hihihi. Dua-duanya ini multinational brand ya).

Saya presentasi dengan pikiran yang sangat bebas. Nothing to lose. Mau mereka terima pemikiran saya dengan antusias, saya bersyukur, karena itu yang terbaik. Tidak pun saya tidak jadi soal.

Sejak beberapa tahun lalu, saya memang sudah berniat pensiun dari hiruk pikuk dunia campaign, dengan melibatkan ekosistem yang besar dan complicated. Saya sudah merasa capek. Beberapa bulan lalu ada sebuah perusahaan advertising yang lagi pesat-pesatnya, berkantor di area Central Park Office, ingin meng-hire saya sebagai technical advisor. Saya menyatakan ketidakbersediaan dengan halus. Dia menyodorkan sebuah angka, dan cukup besar. Saya bergeming, tak beranjak. Bukan karena saya sudah mapan, justru saat ini saya kerap mengalami hidup pas-pasan. Saya membayangkan, masa saya dalam keribetan-keribetan tetek bengek dunia iklan, sudah selesai. Capeknya tak cukup terbayar oleh angkanya.

Dunia Iklan, Oh Dunia Iklan

Karena sifat saya yang all out ketika mengerjakan sesuatu, tak jarang saya bahkan tak pulang ketika pitching untuk mendapatkan sebuah brand. Belum lagi, saat saya hadir dengan ide, ide diperdebatkan di internal, lalu ditolak client, digodok lagi di dalam, dan ketika client level midle manajement sudah oke, eh di-reject oleh BOD. Lalu bikin lagi dari awal, melewati segala macam drama yang kerap banyak tidak perlunya.

Kemudian era digital merebak, menawarkan segala sesuatu yang instan dan mudah. Ini berpengaruh pada pricing strategy perusahaan iklan. Harga pun anjlok. Dengan tingkat inflasi yang melonjak, harga sebuah kerja kreatif bukannya naik, tapi malah turun nyaris 1/7 kalinya.

Bayangkan saja. Bayangkan ya. Dulu perusahaan kami hanya mau mengeksekusi sebuah produksi film iklan dengan minimal badget Rp 800 juta. Bahkan produksi sebuah film iklan bisa mencapai Rp 4 miliar. Sekarang?

Rp 60 juta pun bisa lho. Bahkan di bawah itu.

Maka, semakin tak terbayar semua pernak-pernik keribetan kerja di dunia iklan.

Jalanku Jalan Sunyi

Saya memilih jalan lain. Saya memokuskan diri pada pendidikan bidang yang saya kuasai. Mencetak orang-orang kreatif, serta melahirkan praktisi-praktisi tangguh dengan kemampuan softskill yang saya miliki.

Di dunia praktis branding, saya masih membuka diri untuk menjadi konsultan branding dan creative campaign langsung beberapa perusahaan. Saya masih terlibat dalam beberapa proyek rebranding BUMN. Juga membantu brand-brand UKM Indonesia yang penuh passion dan letupan magma untuk maju pesat. Bahkan, saya banyak men-set-up tim kreatif di beberapa brand UKM, dan memperkuat skill mereka. Tentu sebagai diri yang independen. Bukan profesional yang terikat dengan perintilan drama bermazhab asal owner senang.

Dengan begitu, saya betul-betul merasa berkreasi dengan tulus, dan berjalan di track yang semestinya.

Dengan begitu, saya merasa lebih nyaman. Merasa lebih berharga. Merasa lebih bermakna.

Bersyukur adalah Puncak Kemerdekaan Diri

Lalu, apakah ketika sekarang saya coba menjajal brand sigaret dari Cina ini, lantas saya seperti kembali ke masa lalu iklan?

Ya! Rasanya saya sedang kembali ke pengalaman indah saya ketika membidani kelahiran brand rokok mild terkenal dari sebuah perusahaan terbesar di Indonesia, dulu.

Bedanya, saat ini, saya hadir dengan sikap batin independen tadi. Nothing to lose. Tak ada beban. Bila kerjasama berjalan dengan baik, saya bersyukur, dan siap untuk mempersembahkan karya terbaik, dengan objektif yang disusun bersama mereka.

Jika kerjasama tidak terjadi, saya tetap bersyukur, karena sudah berkenalan dengan orang-orang hebat dan baik. Mungkin saya belum beruntung menjajal brand besar mereka dengan diri saya sebagai single fighter yang otonom. Atau mungkin juga, mereka yang belum beruntung, merasakan bagaimana impact creative campaign yang saya pikirkan.

Eh, btw, baru saja terdengar suara anchor KRL, yang memberi tahu bahwa kereta sudah memasuki area stasiun Bogor. Nggak berasa banget. Saya turun dulu ya.

Selamat hari Jumat. Dan selamat menikmati akhir pekan yang baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *