Memahami Anxiety

Malam ini, saya bertiga saja. Di rumah. Saya, suara jengkrik, dan serangga apa namanya yang suaranya berisik banget itu. Di kepala saya itu tonggeret, tapi ternyata bukan. Walau berisik, paduannya harmoni, apalagi disaputi cahaya malam. Tanpa memutar music player, saya sudah mendapatkan irama world music yang sebenarnya. Anak-anak sedang di rumah neneknya. Semuanya.

Di ketenangan frekuensi alpha ini, saya me-recovery rasa lelah saya siang tadi. Sekaligus merefleksikan diri, apa yang sudah saya lakukan tadi? Bermanfaatkah? Hikmah apa yang bisa saya pelajari?

Siang hingga sore, saya bertemu dengan seorang anak muda, di sebuah tempat di Jakarta. Anak muda ini memiliki kecemasan akut yang luar biasa. Ia merasa ini amat mengganggu, baik dari sisi psikologis hingga fisik. Dari sisi psikologis, ia merasa tertekan, overthinking, dan tentu menjadi tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Dari sisi fisik, saat kecemasan itu muncul, rasa pusing selalu mengikutinya. Yah, itu menjadi satu paket anxiety, yang tipikal sekali, walau dengan gejala berbeda.

Beruntung bagi dia dan saya, anak muda ini memiliki level sugestibilitas tinggi. Biasanya, karakter pemilik sugestibilitas tinggi itu mudah menyerap data (baik negatif maupun positif). Artinya, tipe ini mudah terpapar problem psikosomatis termasuk anxiety tadi; dan sekaligus sebetulnya mudah juga untuk mengedukasi atau mereprogram subconsciousnya.

Kami ngobrol banyak, termasuk mengenai masa lalunya. Sebetulnya, metode terapi yang saya aplikasikan bisa tanpa menggali masa lalunya. Tapi cukup dengan memprogram masa kininya. Namun, anak muda ini sedang ingin bicara. Dan saya memahami, bahwa dengan mendengarkannya, sekaligus saya menyelipkan teknik clean language di sela-selanya, proses terapi sudah terjadi tanpa dia sadari.

Ada banyak serpihan masa lalu yang ia perkirakan menjadi penyebab apa yang saat ini ia anggap derita. Tentang masa kecilnya; tentang orang tuanya, pengalaman pernah menjadi korban bullying saat di SD, dll. Ini mengingatkan saya, memang, problem yang dimiliki saat ini, biasanya, bersumber dari 2 tempat ironis: Rumah dan sekolah. Padahal, seyogyanya, rumah dan sekolah adalah pilar yang mestinya bikin kokoh manusia, toh? Yup. Seharusnya. Seharusnya.

Seharusnya.

Saat ini, saya merasa sangat melankolis. Jejak pengalaman siang tadi, saya bawa dalam ruang ketika saya sekarang sendiri. Tidak ada anak-anak. Tidak ada siapa-siapa.

Merunut cerita si anak muda tadi, saya jadi berkaca, lalu menjadi hakim buat diri saya sendiri, bahwa saya bukan seorang ayah yang baik. Saya masih bertingkah yang disadari atau tidak, mungkin banyak memberi bekas luka di hati mereka. Saya mencintai anak saya–itu sudah pasti, bahkan lebih dari mencintai diri saya–tapi cinta bukan pernyataan, melainkan sikap, yang mungkin bagi persepsi anak saya malah sikap yang membekaskan jejak duka.

Itu sebabnya, lewat tulisan ini, saya ingin minta maaf sama anak-anak saya, sekaligus menyesal, karena saya tidak bisa menjadi seperti seorang ayah yang seharusnya.

Lewat tulisan ini pula, saya ingin bilang pada keempat anak saya, “Jejak luka itu tak seharusnya ada. Dan bila ada, hapuslah. Kalian adalah manusia istimewa yang amat berharga. Bila kesadaran papa adalah betadine yang mengobati luka, maka kini papa sadar, dan minta maaf atas ketaksadaran papa selama ini, dengan sangat amat pada kalian. Tak ada yang lebih berharga dari apapun buat papa, kecuali kalian berempat.”

Terima kasih pada anak muda yang siang hingga sore tadi bertemu dengan saya. Kamu sudah memberi banyak pelajaran bagi saya. Masa depan kamu masih panjang. Dan berbahagialah, selain kamu memiliki kesedihan yang memperkuat batinmu, kamu juga memiliki jejak kebahagiaan yang besar. Kamu memiliki pengalaman-pengalaman menyenangkan yang luar biasa. Kamu memiliki kebahagiaan yang seharusnya tak kamu lupakan. Ia ada, masih ada, dan masih kamu miliki ke depannya. Tinggal kamu geser pandangan kamu, alihkan fokus, pada hal-hal baik yang telah kamu miliki, yang sedang kamu miliki, dan akan kamu miliki.

Pengalaman buruk adalah kawah candradimuka yang membuat kamu kuat dan tegap. Pengalaman baik adalah energi yang membuat kamu semakin siap bergerak. Itulah yang disebut, kamu manusia lengkap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *