Nurkala Kalidasa

Saya jatuh cinta pada wayang golek, bermula dari terpana pada suara dan cara bertutur Ki Dalang Cecep Supriadi. Cecep Supriadi adalah salah satu legenda pedalangan Tanah Sunda, selain Asep Sunandar Sunarya. Bahkan Asep Sunandar Sunarya pun mengaku berguru padanya.

Kekuatan Cecep sangat lengkap. Selain kefasihan diksi dan suara, cara mengemas cerita dan filosofi yang diusungnya pun betul-betul tak ada tandingnya.

Malam tadi, saya coba mendengar kembali salah satu cerita ciptaannya, berjudul “Nurkala Kalidasa”. Ini adalah karya wayang golek terbaik yang pernah saya tonton dan dengar. Saat menontonnya, saya betul-betul menitikkan air mata, tanpa tahu kenapa. Dan saya bahkan tak kuasa menjelaskannya ke anak saya secara runtun, kenapa saya keluar air mata. Saya tak bisa menata kata-kata. Dan akhirnya saya nikmati saja haleuang Cecep Supriadi lewat teriakan, nyanyian, dan gaya tengilnya tokoh Nurkala Kalidasa. Ini, bagi saya lebih baik.

Setelah saya renungkan sekian jam, rupanya ini yang membuat saya menangis hanyut dalam kekaguman pada cerita “Nurkala Kalidasa”:

Pertama, wayang ini saya dengar sekitar tahun 1980-an ketika saya SD. Saya mendengarnya di sofa merah bareng ayah, ibu, kakak dan adik saya. Posisi saya rebahan, kedua kaki saya ada di sandaran kursi, sementara badan dan kepala saya ada di bagian dudukannya. Posisi terbalik. Betul-betul santai, rileks dan khidmat.

Ayah saya lebih lucu lagi, ia mendengarnya sambil nundutan (ngantuk berat), dengan jari tangan kanan menjepit sebatang rokok. Ia beberapa kali terbangun karena bara api jatuh di kaus oblongnya, serta membakar kulitnya. Ia terkejut lalu tersadar sesaat, kemudian … ngantuk lagi. Uniknya, ketika cerita usai, ia betul-betul hafal jalan ceritanya. Ini saya tahu, karena ayahlah yang bertingkah sebagai moderator, dan memulai perdebatan (tepatnya perseteruan), membahas cerita dan filsafat “Nurkala Kalidasa”. Begitu memang tradisi kami.

Nah, detail ingatan ini yang membuat saya menangis. Saya tak sekadar tergugah oleh memori kekaguman saya pada Cecep Supriadi, tapi “Nurkala Kalidasa” betul-betul membajak ingatan saya untuk mengenang kehangatan ayah saya. Cara ayah mengajarkan saya berpikir; cara ayah selalu menempatkan diri antagonis, agar otak saya kritis bergerak dan membantahnya; betul-betul unik. Saya selalu panas saat itu, karena tak habis pikir dengan pola ayah yang selalu kontra; tapi ternyata, sekarang saya sadar, itulah kehangatan yang sebenarnya.

Penyebab kedua kenapa saya menangis adalah Cecep Supriadi itu sendiri. Suaranya, cengkoknya, caranya menjaga tensi dari serius, tegang, perkasa, urakan, lembut, merangkai haleuang, sampai dengan gaya ngakaknya tokoh Nurkala Kalidasa, adalah akumulasi keindahan yang membuat saya makin cinta pada Sunda. Belum lagi dari jalan ceritanya yang ternyata dibangun hanya dari satu pertanyaan Nurkala Kalidasa pada setiap biku, resi, pertapa, orang sakti, dan siapapun yang ditemuinya. Pertanyaan ini bikin geger jagat pewayangan, karena betul-betul menelanjangi kadar pikir orang-orang terhormat. Bunyinya, “Apa Arti Manusia.”

Pertanyaan ini simpel, tapi ternyata, semua tokoh yang Nurkala Kalidasa temui, tak kuasa menjawabnya. Orang-orang hebat yang ia temui, jawabannya sama, mengartikan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Jawaban klise itu, bagi Nurkala Kalidasa, membuat orang kemudian tak mampu berpikir, apalagi membaca dan mengkaji diri. Tak heran, banyak orang pintar tersesat dalam keangkuhannya.

Di ujung, hanya Semar Badranaya yang berhasil menjawabnya. Dan begitu pertanyaan yang bikin geger serta kacau semesta cerita terjawab, Nurkala Kalidasa pun lenyap. Ternyata, ia adalah jelmaan dari Jamuslayang Kalimashada, pusaka yang dititipkan pada para Pandawa.

Apa sih jawaban dari Lurah Semar Badranaya? Silakan cari sendiri sambil terkagum-kagum pada dahsyatnya teriakan Nurkala Kalidasa. Mungkin kamu tak sampai menangis seperti saya. Tapi, yang pasti, kamu akan semakin jatuh cinta pada Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *