Tuhan lebih Dekat dari Urat Leherku

Pasar Minggu, pukul 11 malam, tahun 1993. Aku lupa tanggalnya. Aku sedang duduk di atas Metromini menuju Depok, sepulang begadang di kantor sebuah Tabloid di bilangan Tebet Timur Dalam.

Biasanya, kalau begadang, aku menginap di kantor. Bahkan bisa berhari-hari. Maklum anak muda. Usiaku waktu itu belum 20 tahun. Tanpa beban.

Walau aku baru mahasiswa semester 3 di Sastra UI, aku memang sudah direkrut sebagai salah satu wartawan di tabloid baru tersebut. Mungkin karena aku rajin menulis di media massa, mungkin juga karena aku kenal dengan salah satu pendirinya. Atau, mungkin mereka kasihan meliat kepolosan anak kampung seperti aku tapi punya gairah besar di dunia kepenulisan. Jadi, saat aku melamar magang, eh, malah langsung ditarik sebagai wartawan. Tabloid itu dipimpin langsung oleh Bob Hasan sebagai pemimpin redaksi sekaligus pemimpin umum.

“Bung, kamu pasti punya uang. Keluarkan dompetmu, atau kurobek lehermu!”

Tiba-tiba, ada benda dingin menempel di leher kiriku. Aku mengira-ngira, ini pasti pisau. Kilatnya ada dalam imajinasiku. Dan ukurannya kecil. Sekali ditekan, mungkin usiaku tak bakal panjang.

Tiga hari sebelum peristiwa ini, aku mendengar dosenku, Sapardi Djoko Damono, membacakan sebuah puisi di depan kelas:

“mata pisau itu tak berkejap menatapmu:

kau yang baru saja mengasahnya berfikir:

ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia

di atas meja sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.”

Sejak awal, aku memang sudah agak khawatir. Begitu bis keluar dari terminal dan aku naik, tak ada satu penumpang pun di dalamnya. Kernet pun memilih duduk di dekat supir. Mungkin sebetulnya mereka sudah mau masuk pool di Depok, karena waktu sudah larut malam. Apalagi keadaan habis hujan panjang. Jadi, mereka sepertinya tak bergairah lagi untuk mencari muatan.

Aku sendiri memilih duduk di bangku paling belakang. Sudah jadi kebiasaan.

Kekhawatiranku makin menjadi-jadi, saat 200 meter bis bergeser dari terminal, naiklah seorang laki-laki ceking dengan tinggi kira-kira 175 cm. Rambutnya keriting kriwil panjang, sedikit mengembang. Wajahnya tirus dan keras. Matanya tajam. Walau kulitnya agak putih, tapi terlihat kumal tipikal biasa hidup di jalanan.

Aku khawatir karena dia masuk dari pintu depan, lalu menebar pandangan ke sekeliling bis yang kosong. Saat sisiran matanya jatuh persis ke posisiku, dia pun melangkah pelan.

Dia tidak memilih bangku lain, tapi terus mendekat ke arahku, dan duduk persis di sampingku. Aneh, kan? Hampir semua bangku di bis kosong, mengapa dia memilih duduk di sampingku?

Aku pun bergeser ke kanan, kira-kira membuat jarak sekitar dua space penumpang. Sudut mataku menangkap, dia melirik ke arahku.

Aku semakin yakin bahwa laki-laki itu berniat buruk. Tapi aku menangkap keraguan di polahnya.

Aku pun menimang kemungkinan terjelek menimpaku. Kalau dia minta uang, aku akan kasih. Asal menyisakan secukupnya untuk ongkosku. Yang penting, dia tidak menyertai tindakannya dengan kekerasan.

Kalau dia melakukannya dengan kasar, semisal menodong atau mencengkeram leherku, aku juga  akan tetap berusaha tenang, memberikan yang dia mau. Tapi kalau dia memang berniat melukai, aku sudah memikirkan cara menyelamatkan diri. Pertama mencari celah untuk melompat ke arah pintu, sambil memperhitungkan berapa kecepatan amannya. Kedua mendahului gerakan dia dengan menandai bagian tubuh mana yang paling tepat membuatnya lumpuh.

Perhitunganku bisa saja gagal. Tapi, apa lagi yang lebih rasional dilakukan di momen terjepit saat itu?

Dalam kegugupan yang terus menguat, aku berusaha tenang dengan berdzikir.

“Lahaula walaquwata illabillahil aliyil adzim. Bismika, Allahumma, ya Allah… Ya Allah… Ya Allah… Ya Muhammad… Ya Muhammad… Ya Muhammad…” Dzikir ini pernah diajarkan oleh Kakekku, Mbah Kyai Haji Burhan Ali dari Pesantren Jati. Katanya, ucapkan kalau kamu gugup. Dan ternyata lumayan juga, setidaknya, aku bisa lebih tenang, ikhlas dan pasrah.

“Cepet mana dompetmu, bajingan!”

Aku mengambil dompet dari saku celana belakangku, sambil pelan tapi pasti, aku memutarkan wajahku ke arahnya. Aku penasaran untuk menatap air mukanya. Setidaknya, aku ingin mengenang serupa apa raut penotokku.

Dari jarak 3 jengkal, aku melihat bola mata dia yang liar. Tapi aku menemukan, dia adalah orang baik yang sedang nekat dan sangat menderita. Dari kelopaknya, aku juga menangkap kegugupan yang luar biasa. Mungkin lebih tepatnya ketakutan yang luar biasa.

Seperti aku, walau dia sedang menggengam pisau dan berada dalam posisi berkuasa, aku yakin, dia adalah manusia yang lengkap dengan rasa takutnya, dengan rasa bersalahnya, dengan rasa tak teganya, dan dengan fitrah kebaikannya.

Tapi, ada sesuatu yang lebih aneh lagi kutangkap dari rautnya. Sesuatu yang membawa bayanganku pada kilatan peristiwa-peristiwa masa lalu. Saat pikiranku mengira-ngira dan memilin bayangan-bayangan itu, tiba-tiba aku dikagetkan dengan bentakannya.

“Wualah? Anjing…!”

Dia tiba-tiba terperanjat, pisaunya terpental jauh ke luar pintu mobil. Matanya terbelalak. Mukanya memucat. Aku pun ikut kaget. Apakah sedemikian dahsyat dzikir yang diijazahkan Mbah Kyai?

“Gila, Seppppp! Ini elo?”

Aku terdiam. Beku.

“Ini gua, Badrudin! Temen lu!”

Aku masih hanyut dalam trance. Dia spontan merangkul dan memelukku, sambil menangis. Tak berhenti dia meminta maaf, bahkan menciumi tanganku.

Ingatanku  mulai terkumpul. Dia memang Badrudin (maaf, ini tentu bukan nama sebenarnya), dengan sosok yang jauh berbeda. Dia adalah teman sekolahku di kelas 1 SMA.

Dulu, di sekolah, Badrudin rambutnya selalu cepak. Itu sebabnya aku pangling dengan rambut kriting panjangnya. Walau berbadan tinggi, dulu dia penakut dan cengeng sekali. Pernah suatu ketika, dia dipukuli anak bupati dan anak kapolres yang kebetulan satu angkatan dengan kami, gara-gara si Badrudin menabuh gong di aula, sementara mereka sedang latihan teater. Badrudin babak belur kena gampar, termasuk aku yang kebetulan ada bersama Badrudin.

Sungguh, tak terpikir sedikit pun, bahwa orang yang menempelkan tajamnya ujung pisau di leher itu adalah Badrudin. Itu sebabnya, rasa aneh kilatan dalam bayanganku di awal, aku buang jauh-jauh.

Bayangkan, teman SMA yang 500 kilometer jauhnya di kampung sana, bertemu di Jakarta dalam adegan dramatik seperti ini. Konyol sekaligus ajaib, bukan?

“Kok lu jadi begini, Din?”

“Iya, Sep, nasib gua jadi tukang totok di Senen, dan kok tiba-tiba ketemu elo di sini. Gua malu, Sep.”

Kembali dia merangkul dan menangis. Cengeng si Badrudin rupanya masih bertahan.

Peristiwa ini benar-benar absurd. Kami kemudian turun di area Tanjung Barat, tempat yang dia bilang dia tinggal di situ. Badrudin bingung saat saya bilang saya pengen main ke tempat dia. Dalam galaunya, Badrudin mengajak saya muter-muter di area perumahan kumuh, sisi kiri jalan raya arah Depok.

Lama juga dia membawaku berputar-putar, dan gak sampai-sampai ke area yang dia tuju.

“Sep, gua malu sama elo. Gua tinggal sama tukang totok semua. Gak baik lu ada di sana. Gua anter lagi aja lu naik bis ya. Ini udah malem, Sep.”

Aku memahami perasaannya. Kami pun kembali ke jalan raya. Mencegat bis arah Depok yang sudah jarang.

“Din, kalo lu perlu apa-apa, kontak gua ya,” kataku sambil menyodorkan kartu nama lengkap dengan alamat dan nomor telponku. Dia mengangguk.

Ia cegat bis yang lewat, lalu mengantarkanku naik. Dia memelukku erat… erat sekali.

“Tuhan menakdirkan jalan kita beda. Dan lu beruntung banget, Sep. Maafin gua,” katanya. Walau dia sudah tak berurai air mata, tapi saya merasa, hatinya begitu perih.

Sebelum turun, dia menghampiri kernet. “Gua titip temen gua ya. Jangan dimintain ongkos, atau gua sikat lu.”

Aku merasa geli mendengarnya. Dia ingin memperlakukanku istimewa, dengan cara yang dia bisa. Dan begitulah caranya. Aku tentu malah membayar ongkosku berlipat-lipat.

Sampai kutulis kisah ini, aku tak pernah mendengar lagi kabar Badrudin. Sempat aku tanya ke teman-teman SMA, tak ada juga yang tahu jejaknya. Aku bahkan coba mengunjungi tempat tinggalnya, dan aku hanya mendapat kabar, bahwa keluarga Badrudin sudah lama meninggalkan desanya.

Entah apa yang sudah terjadi pada Badrudin. Dan entah apa yang akan terjadi berikutnya.

Tuhan mengirimkannya sejenak padaku, lewat peristiwa aneh dan mengerikan. Mungkin untuk kuabadikan kisahnya dalam tulisan ini. Atau, Tuhan hanya ingin memberiku kabar gembira, bahwa bahkan saat ada bahaya mengancam leherku, Tuhan ingin bilang, “Ia lebih dekat dari urat leherku”?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *